Liem Hwa - Kisah Perjalanan Pemuda Tionghoa Muslim

Senin, 26 Juni 2023 10:28 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Liem Hwa
Iklan

Novel ini membumbui kisahnya dengan sedikit hubungan dengan kerusuhan 1998.

Judul: Liem Hwa

Penulis: Satmoko Budi Santoso

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun Terbit: 2005 (Cetakan kedua)

Penerbit: Gitanagari

Tebal: viii + 138

ISBN: 979-97132-0-X

 

Novel tipis ini tidak sesuai antara promosinya denga nisi kisahnya. Di halaman belakang disebutkan bahwa novel ini berkisah tentang sisi kehidupan etnis China yang sering menjadi sasaran kekerasan. Di cover belakang dituliskan tentang Liem Hwa yang berasal dari keluarga yang bahagia menjadi tercerai-berai karena peristiwa 1998 yang menghancurkan keluarganya. Ayahnya mati dibunuh, ibunya diperkosa dan kemudian melahirkan anak hasil perkosaan. Kakaknya mati bunuh diri karena tak kuat menanggung derita.

Tapi novel ini sama sekali tidak menceritakan bagaimana peristiwa-peristiwa yang dialami oleh keluarga Liem Hwa. Apa yang dipromosikan di halaman belakang hanya termuat di halaman 14-17 dengan kalimat yang sangat mirip dengan apa yang tertuang di cover belakang. Selebihnya novel ini mengisahkan perjalanan liburan Liem Hwa dengan Ahmad teman SMA-nya ke sebuah desa di lereng Merapi. Jadi, cerita dalam novel ini sama sekali tidak menggambarkan liku-liku kehidupan Liem Hwa!

Novel ini mengisahkan kunjungan Liem Hwa dengan Ahmad ke desa kakek Ahmad. Mereka berkunjung ke desa yang penduduknya menyatakan beragama Islam tetapi kehidupannya sangat jauh dari nilai-nilai Islam.

Liem Hwa dan Ahmad menjumpai berbagai praktik kehidupan yang sama sekali tidak Islami. Di desa ini ada dukun yang masih dipercaya oleh warganya. Bahkan praktik perdukunan ini dianggap sebagai selaras dengan Islam. Ada praktik pencurian tali pocong dari mayat yang baru saja dikuburkan. Ada penggunaan ganja, praktik mabuk-mabukan dan bahkan praktik incest. Liem Hwa sendiri kehilangan handphone-nya saat shalat di sebuah mushalla.

Liem Hwa yang adalah seorang Muslim dihadapkan dengan semua peristiwa yang tidak cocok dengan praktik agama yang dianutnya. Ia sangat heran dengan perilaku teman-teman Ahmad yang kufur. Namun sebagai seorang pendatang, masih muda dan bermata sipit, Liem Hwa tak bisa berbuat banyak.

Liem Hwa menjadi semakin heran saat seorang Ustadz yang datang dan tinggal di desa tersebut rumahnya dilempari batu. Entah apa yang akan terjadi kepada sang Ustadz ke depannya. Apakah sang Ustadz akan berhasil mengubah perilaku yang tidak Islami di desa kakek Ahmad, atau malah sang Ustadz terusir dari desa tersebut.

Sebenarnya kisah kunjungan Liem Hwa bisa dikembangkan dengan sangat menarik. Misalnya dengan mengeksploitasi kegalauan Liem Hwa tentang agama baru yang dianutnya karena melihat perilaku yang berbeda dari standar Islam yang dipahaminya. Bukankah perjumpaan budaya selalu menjadi bahan menarik untuk sebuah novel? Tapi sayang penulis buku ini tidak cukup percaya diri sehingga mendompleng tema yang lebih sangar, yaitu Peristiwa Perundungan Etnis China tahun 1998.

Sungguh tidak elok mengelabuhi pembaca dengan cara seperti ini. 760

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler